Ketika Lockdown Jadi Pilihan Indonesia (Belajar dari 26.000 Kasus Covid-19 di Wuhan)

laura sinaga corona

TOPMETRO.NEWS – Berita online 28 Maret 2020 menampilkan judul “Pemerintah Terbitkan Aturan Karantina “Lockdown” Daerah, dimana Menko Polhukam Mahfud MD dalam video conference di Jakarta menyatakan pemerintah sedang menyiapkan rancangan Peraturan Pemerintah (PP) karantina kewilayahan. Artinya, ke depan akan ada daerah-daerah, Provinsi maupun Kabupaten/Kota bakalan di lockdown di Indonesia sampai 14 hari.

OPINI | *Laura Ance Sinaga, SKM, MHSM, MPH

laura sinaga corona2

Keputusan pemerintah untuk melaksanakan lockdown setelah mengevaluasi upaya social distancing yang dilaksanakan selama 14 hari tidak dipatuhi secara konsisten oleh sebagian besar masyarakat.

Jumlah kasus baru positif Covid 19 meningkat setiap hari, bahkan beberapa hari ini dilaporkan lebih dari 100 kasus baru positif Covid-19 setiap harinya.

Bila pada akhirnya pemerintah berencana untuk melaksanakan lockdown padahal beberapa hari sebelumnya Presiden Jokowi mengatakan “lockdown belum menjadi pilihan” maka dapat diartikan lockdown ini pilihan sulit dan berat buat pemerintah.

Sebelum Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang penerapan lockdown, penulis ingin menyumbangkan pemikiran tentang yang harus dilaksanakan khususnya di bidang kesehatan sebelum menerapkan lockdown dengan menjadikan pengalaman Wuhan menjadi pembelajaran di Indonesia dalam merumuskan strategi pencegahan penularan COVID-19.

Pengalaman Wuhan “Learning from 26.000 cases of COVID-19 in Wuhan”

Tahun 2020 diawali dengan muncul kasus pertama Covid-19 di Kota Wuhan, dan China langsung terkenal sebagai Negara yang menyebabkan si COVID-19 muncul, namun hanya dalam jangka waktu sekitar 2 (dua) bulan Negara China muncul sebagai negara yang telah berhasil mengalahkan si Covid-19.

Bagaimana tidak, China mampu menurunkan jumlah kasusnya yang sempat mencapai puncaknya sebesar 58.016 kasus pada 17 Februari 2020 menjadi 3.128 kasus pada 25 Maret 2020 dan penemuan kasus baru positif yang sempat mencapai 14.108 hanya pada 12 Februari 2020 menurun drastis menjadi 67 kasus baru pada 25 Maret 2020.

baca pula |  Kekebalan Kelompok Alias Herd Immunity Covid 19 Saat ini, Mungkinkah?

Xihong Li dari Departemen of Biostatistics School of Public Health Harvard University bekerjasama dengan Tongji School of Public Health Huazhong science and Technology University Wuhan memaparkan hal-hal yang bisa dipelajari dari pengalaman Wuhan dalam mengkontrol wabah Covid-19 khususnya pada saat pelaksanaan lockdown.

Hal ini ditampilkan dalam persentasi mereka yang berjudul “Learning from 26.000 cases of COVID-19 in Wuhan”

Pengalaman Wuhan menunjukkan, penularan COVID-19 mampu mereka kontrol melalui 3 hal yaitu Screening + Mitigation + Suppression (Centralized Quarantine).

Wuhan Screening, Mitigation, Suppression (Centralized Quarantine)

Hingga 23 Januari 2020, pemerintah China mencoba mengontrol penularan COVID-19 dengan melaksanakan screening dan menemukan angka effective reproductive R=3,88 artinya satu orang penderita COVID-19 menularkan dan menjadikan 3,88 orang menjadi positif COVID-19.

Melihat tingginya angka penularan ini, maka pada 23 Januari 2020 Pemerintah China menerapkan lockdown di Wuhan dan karantina di rumah.

baca artikel Anda | Untung Ada TNI, Bersama Masyarakat, NKRI Utuh Terjaga

Penularan menurun namun masih tinggi dengan ditemukannya angka R=1,25 (masih diatas 1) artinya setiap satu orang penderita COVID-19 akan menularkan ke 1,25 penderita baru positif.

Ini menunjukkan screening plus lockdown belum mampu menurunkan penularan.

Kapan penularan itu mampu diturunkan? Sejak diberlakukannya Suppression (Centralized Quarantine) atau Pemaksaan (Karantina terpusat) yang dimulai pada 1 Februari 2020 dan hanya dalam 9 hari angka penularan dapat diturunkan menjadi R=0,32; kasus baru positif sebesar 0,32 orang setiap hari, artinya TIDAK ADA LAGI KASUS BARU!

Wuhan Suppression (Centralized Quarantine)

Lockdown disertai dengan karantina di rumah yang dilaksanakan Pemerintah China di Wuhan ternyata tidak memberikan hasil yang memuaskan, penularan dan infeksi kasus baru positif masih ditemukan setiap hari.

Bahkan tantangan baru muncul ketika ditemukan bahwa penularan antar anggota keluarga meningkat tajam sehingga kasus baru penduduk terinfeksi COVID-19 muncul setiap hari.

Keadaan ini mendorong Pemerintah China menerapkan strategi Suppression (Centralized Quarantine) dan kurang lebih 9 hari penerapan strategi tersebut, kasus baru terinfeksi menurun dan akhirnya mencapai “zero new case”.

Apa itu Centralized Quarantine?

Centralized Quarantine “take infected and presumptive cases out of home and family network and admit them to new or field hospitals for medical care”
Karantina Terpusat adalah “memisahkan orang yang terinfeksi dan yang dicurigai dari rumah dan keluarganya dan memasukkan mereka ke rumah sakit baru untuk mendapatkan perawatan medis”.

Pada Centralized Quarantine maka pemantauan terhadap penduduk dilaksanakan dengan membaginya menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok 1 adalah yang positif COVID-19, kelompok 2 adalah mereka yang dicurigai sebagai kasus COVID-19 atau yang dikenal sebagai PDP di Indonesia, kelompok 3 adalah mereka yang menderita deman, dan kelompok 4 adalah mereka yang kontak dengan kasus positif namun tidak sakit.

Orang-orang dalam kelompok 2, 3 dan 4 dikumpulkan di suatu tempat yang terpisah (hotel dan asrama) sedang mereka dalam kelompok 1 dirawat di Rumas Sakit khusus merawat pasien COVID-19. Bila pada kelompok 2, 3 dan 4 dikonfirmasi telah terinfeksi maka mereka akan dibawa langsung ke RS (kelompok 1) dengan transportasi yang telah disediakan.

Dan bila kasus positif di kelompok 1 semakin parah, maka pasien langsung dibawa ke ruang ICU RS regular. Dan hasilnya Screening + Lockdown + Centralized Quarantine mampu menurunkan penularan COVID-19 mencapai TIDAK ADA KASUS BARU pada Maret 2020.

Lockdown di Indonesia, Apa yang Harus Ada?

Kini Pemerintah Indonesia sedang merancang peraturan dalam pelaksanaan lockdown; sebelum hal ini dilaksanakan ada baiknya pengalaman Wuhan dalam mengontrol wabah COVID-19 dapat dipertimbangkan dalam menyusun strategi yang akan dilaksanakan di Indonesia ke depan.

Bukankah kita setuju pengalaman itu guru terbaik? Fakta di Wuhan menunjukkan “lockdown with mitigation (traffic ban and home quarantine) helped but was not enough” artinya lockdown dengan pembatasan (larangan keluar dan karantina di rumah) memang membantu NAMUN TIDAK CUKUP.

Dengan begitu, bila lockdown akan dilaksanakan di Indonesia (atau dengan lockdown terbatas sekalipun), tidak akan mampu menuntaskan penularan COVID-19, karena Screening, Mitigation, Suppression (Centralized Quarantine) harus terlaksana serentak.

Apakah Centralized Quarantine hal baru yang akan dilaksanakan saat lockdown di Indonesia? Menurut saya tidak! Indonesia hanya perlu memanfaatkan pola kerja Centralized Quarantine di Wuhan dan menggunakannya pada sistem pelayanan kesehatan yang ada saat ini.

Lakukan pembagian kelompok masyarakat menjadi 4 kelompok masyarakat dan tempatkan mereka di tempat berbeda, lalu laksanakan pemantauan, yaitu: Kelompok 1 adalah mereka yang positif terinfeksi COVID-19 ditempatkan di RS khusus merawat pasien COVID-19;

Kelompok 2, mereka yang diduga terinfeksi yang menunjukkan gejala ke arah COVID-19 atau yang selama ini disebut PDP (pasien dalam pengawasan), tempatkan mereka di RS di daerah (pemerintah atau swasta yang ditunjuk);

Kelompok 3, mereka yang menderita demam (gejala umum), tempatkan mereka di puskesmas atau RS/klinik swasta yang ditunjuk; dan

Kelompok 4, mereka yang kontak dengan kasus positif (terinfeksi) tanpa gejala penyakit apapun, maka tempatkan mereka di tempat lain seperti asrama, ataupun diklat.

Kelompok 3 dan 4 selama ini kita kenal dengan nama ODP (orang dalam pengawasan), pengalaman di Wuhan bahwa kelompok ODP ini dibuat menjadi 2 kelompok karena fakta menunjukkan bahwa masa lockdown penularan antar anggota keluarga meningkat; sehingga perlu memisahkan antara yang sakit dan yang tidak sakit.

Selanjutnya, setiap orang yang berada di kelompok 2, 3 dan 4 dilakukan screening dengan rapid test, bila dengan satu kali pemeriksaan hasil menunjukkan positif segera dipindahkan ke RS khusus merawat pasien COVID-19, untuk kasus dimana menunjukkan hasil negatif maka dilaksanakan pemeriksaan kedua; bila hasil tetap negatif maka mereka dikembalikan ke RS reguler untuk mendapatkan perawatan medis bagi yang sakit, dan bagi yang tidak sakit di kembalikan ke rumah masing-masing.

Bila rapid tes tidak tersedia, maka mereka di kelompok 3 dan 4 dimonitor selama 14 hari adakah muncul gejala yang mengarah ke COVID-19 atau tidak.

Bila ada yang menunjukkan gejala yang dicurigai maka langsung dikirim ke tempat kelompok 2 dan dilaksanakan SWAP tes, dan bila tidak ada gejala maka pasien dikembalikan ke rumah masing-masing.

Dengan pola pembagian dan pemisahan kelompok ini, memberikan keuntungan yaitu:
1. Mempercepat pemutusan rantai penularan, dengan penemuan cepat cluster dari pasien positif dan pemisahan segera dilakukan antara yang sakit dan tidak (kontak);
2. Kejelasan peranan masing-masing sarana yaitu antara RS khusus merawat pasien COVID-19, RS lain yang merawat pasien yang diduga COVID-19, RS/Puskesmas yang merawat pasien demam dan sarana lain (asrama/diklat) tempat karantina mereka yang tidak sakit namun pernah kontak dengan pasien positif.
3. Memudahkan pemantauan (controlling) bukan hanya terhadap perkembangan pasien tetapi juga penggunaan alat dan perbekalan kesehatan.
4. Mengoptimalkan penggunaan alat, perbekalan kesehatan, obat dan ADP, dengan dibuatnya standar prasarana kesehatan yang harus ada di Kelompok 1, 2, 3 dan 4;
5. Menghindarkan kepadatan di RS khusus yang merawat COVID-19; dan
6. Mengurangi beban tenaga medis dan paramedis yang merawat pasien positif COVID-19.

Untuk hal ini terjadi maka Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota perlu berbagi peranan, maka penulis menyarankan yaitu:
a. Pemerintah Pusat sepenuhnya bertanggung jawab pada operasional RS khusus yang merawat Pasien COVID-19 yaitu kelompok 1;
b. Pemerintah Provinsi sepenuhnya bertanggung jawab pada operasional RS yang merawat pasien pada kelompok 2, dan
c. Pemerintah Kabupaten/Kota sepenuhnya bertanggung jawab pada operasional RS/Puskesmas/Asrama/Diklat/tempat lainnya yang merawat pasien kelompok 3 dan kelompok 4.
d. BPJS penyediaan dana/anggaran dan sarana transportasi pasien antar kelompok dari kelompok 2, 3 dan 4 dan transportasi ke RS khusus merawat pasien COVID-19 (kelompok 1), dan
e. TNI/Polri membantu pelaksanaan karantina terpusat ini khususnya pada kontak yang tidak merasa sakit (kelompok 4) untuk mau ditempatkan di tempat khusus serta membantu transportasi pasien antar kelompok.

Bertanggungjawab penuh itu menyangkut penyediaan sarana bangunan, alat dan perbelkes, ADP, kecukupan tenaga medis serta tempat tinggal tenaga medis yang merawat pasien di kelompok 1 dan 2, serta makanan/minuman bagi mereka di kelompok 3 dan 4.

Pilihan untuk melaksanakan lockdown pilihan yang berat sekalipun itu lockdown terbatas; namun harus dilaksanakan untuk mempercepat pemutusan penularan si COVID-19. Namun, pembelajaran dari Wuhan, lockdown dan screening hanya mampu menurunkan penularan sebesar 2,63 point (dari R = 3,88 menjadi R=1,25) dan masih menyisakan penularan dimana setiap pasien terinfeksi akan menginfeksi ke 1,25 orang.

Penularan turun drastis ketika karantina terpusat (Centralized Quarantine) diterapkan dengan menghasilkan angka R=0,32.

Para ahli epidemiologi dan statistik telah memprediksi bahwa puncak pandemic COVID-19 di Indonesia akan terjadi pada bulan Mei dan lockdown dilaksanakan agar mampu memutuskan penularan dan Indonesia segera bebas dari wabah COVID-19.

Penulis mengharapkan rancangan peraturan pemerintah tentang pelaksanaan lockdown di daerah memasukan penerapan strategi Centralized Quarantine dengan pembagian peranan yang jelas antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pemerintah China telah berhasil memutuskan rantai penularan si COVID-19 di Wuhan dan tidak salah strategi yang dilaksanakan Wuhan jadi pembelajaran untuk Indonesia dalam merumuskan strategi yang akan dilaksanakan pada saat lockdown.

*Penulis, Laura Ance Sinaga, SKM, MHSM, MPH, Kepala Bidang Pengendalian Penduduk Dinas Pengendalian Penduduk dan KB Provsu. 

(MHSM: Master of Health Services Management dari Monash University Australia, MPH: Master of Public Health dari Royal Tropical Institute–Amsterdam)

Related posts

Leave a Comment